Rabu, 20 Oktober 2010

Siapakah Sesungguhnya yang Gila?

Skizofrenia, yang dulunya merupakan penyakit yang jarang dikenal, rupanya saat ini mulai diperhatikan oleh masyarakat. Pada perayaan Hari Kesehatan Jiwa (HKJS) tanggal 10 oktober kemarin, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) mengadakan workshop dan pameran lukisan penderita skizofrenia. Selain itu mereka melakukan demonstrasi menyuarakan Indonesia bebas pasung 2011. Perayaan itu juga terdapat di daerah-daerah. Seperti di kota Malang, Jawa Timur,Perhimpunan Sehat Jiwa yang dimotori oleh Rumah Sakit Jiwa Lawang, mengadakan jalan sehat dari bundaran tugu ke alun-alun Kota Malang. Mereka bahkan memvisualisasikan pemasungan "orang gila" dengan memperlihatkan orang gila yang dipasung lalu diarak naik mobil pick up. Di bawah mobil itu, kurang lebih tertulis "jangan pasung kami".

Pandangan masyarakat terhadap penyakit skizofrenia memang masih sangat awam. Meskipun baru-baru ini, berita tentang skizofrenia muncul di berbagai media; global TV, kompas, Jawa Pos, namun stigma negatif masyarakat terhadap penyakit ini belum juga hilang. Terbukti masih ada penderita skizofrenia yang dikucilkan oleh keluarganya. Bahkan ada yang dipasung selama bertahun-tahun. Masyarakat masih menganggap penyakit ini sebagai sebuah kutukan atau aib yang perlu disembunyikan.

Perlakuan yang kurang kondusif dari masyarakat membuat penderita merasa rendah diri. Mereka merasa tidak mampu untuk bangkit kembali dari kondisi relaps. Tidak sedikit dari mereka yang masih menikmati halusinasi dan bayangan yang sesungguhnya tidak nyata. Akibatnya, Orang Dengan Skizofrenia (ODS) kurang bisa memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, mereka dianggap tidak bisa bekerja dan berkontribusi di dalam masyarakat.

Sesungguhnya, jika ditilik dari sejarah, fenomena skizofrenia ini sudah ada sejak sebelum abad ke-18. Tidak hanya skizofrenia, fenomena kegilaan lainnya pun ditemukan pada masyarakat-masyarakat primitif. Focault, seorang postmodernist dari Eropa dalam essaynya Madness and Civilitation menyebutkan bahwa fenomena dukun Shaman mempunyai ciri-ciri kegilaan. Ruth Benedit menemukan bahwa suku Kwakiul ternyata memiliki ciri-ciri paranoia.

Pada akhir abad ke 18 sampai 19 puisi-puisi Hodellin Blake, yang dianggap gila mulai diterbitkan. Begitu juga dengan Raymond Russel seorang penulis yang masuk rumah sakit jiwa, diperhitungkan oleh pengarang Robert Guillbert sebagai titik tolak karya-karyanya. Bahkan Antonio Artaurd, seorang skizofrenik membuat fenomena baru di dunia puisi setelah melemahnya surealisme.

Jika masyarakat modern menganggap ODS sebagai "orang gila" yang termarjinalkan. Harusnya ada alasan yang kuat mengapa masyarakat memiliki pandangan demikian. Kalau "kegilaan" diukur dengan bahasa ODS yang cenderung simbolik dan susah dimengerti, maka pendapat tersebut telah dilemahkan oleh teori dekonstruksi Derrida. Filsuf yang populer pada tahun 1980-an ini, mengemukakan logika berbahasa baru, yang cenderung menegasikan strukturalisme. Hagemoni strukturalisme Saussure yang merumuskan sign sebagai penafsiran dari signifier+signified didekonstruksi menjadi sign=signifier+signified....+signified. Hasilnya, ada sekelompok orang, salah satunya adalah penyair, yang menggunakan logika berbahasa yang keluar dari pakem. Sebagai contoh, Afrizal Malna menggunakan logika berbahasa skizofrenia dalam puisi-puisinya yang bertema postcolonial.

Melihat kondisi tersebut, seharusnya stigma negatif "kegilaan" terhadap ODS perlu dikaji ulang. Karena logika berbahasa ODS, meskipun keluar dari pakem yang telah disepakati, memiliki struktur tersendiri. orang yang memiliki pola bahasa yang berbeda, bukan berarti dia " gila" dan layak dikucilkan. Bukankah teori relatifitas menyatakan tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanya perbedaan sudut pandang? Bukankah itu berarti yang berbeda dan minoritas bukan berada pada pihak yang salah, namun hanyalah soal perbedaan persepsi?

Pada kenyataanya, dalam kondisi normal, ODS tetap bisa bekerja dan beraktifitas seperti biasa. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berprestasi. Ada pendapat yang menyebutkan mereka adalah orang yang jenius kreatif. Bila dibandingkan dengan masyarakat yang mengaku dirinya "normal dan sehat" namun tidak memiliki iktikad baik untuk bekerja, bisa dibilang ODS mempunyai "bargaining" posisi yang lebih tinggi. ODS tidak memaksudkan dirinya untuk bertindak destruktif, namun ada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan dalam dirinya. Tindakan ODS yang dianggap mengganggu masyarakat sesungguhnya bukanlah faktor kesengajaan. Melainkan karena mereka tidak bisa mendefinisikan dan melawan kekuatan aneh yang mengontrol mereka.

Sedangkan para perampok, koruptor, pemimpin yang dzalim menyengsarakan orang lain karena mereka ingin mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Mereka tidak segan-segan menghilangkan nyawa orang lain agar keinginannya tercapai. Bahkan penguasa menindas rakyatnya untuk memperkaya diri sendiri. Kalau seperti ini, siapa sesungguhnya yang gila? siapa yang seharusnya dikucilkan dan dipenjarakan? ODS yang tidak bersalah atau koruptor yang "memakan" uang rakyat? Jawabannya ada di dalam hati masing-masing orang. Apakah masyarakat masih memiliki akal sehat dan hati nurani yang jernih, atau semuanya hilang ditelan ideologi modernisme dan kapitalisme. Dimana yang lebih menguntungkan, itulah yang dianggap benar